Rabu, 17 Maret 2010

UN tak lagi menakutkan

Perdebatan tentang Ujian Nasional (UN) tahun ini tidak begitu kencang seperti saat pertama kali diberlakukan secara nasional melalui angka kelulusan UN minimal (passing grade). Begitupula dari sisi komentar serta pesimistis orang tua dan anak, agaknya relative kecil di banding sebelumnya. Padahal dari sisi angka, UN tahun ajaran 2009/2010 ini cukup besar, yakni 5,50. Angka tersebut dari mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Artinya kerja keras anak, pihak sekolah juga orang tua perlu ditingkatkan. Sebab soal-soal pun tak bisa dianggap remeh dibanding soal-soal sebelumnya. Kondisi ini dimungkinkan beberapa alasan. Pertama, para pihak terkait penyelenggaraan UN sudah relative siap ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, dalam pemahaman soal ujian, guru lebih bisa memprediksi apa yang akan keluar.
Pemahaman itu tentu memberi kepercayaan diri guru dalam memberi latihan soal terhadap murid-muridnya. Benar kata pepatah, “Bisa Karena Biasa” Kedua, ekpose tentang beratnya UN relative berkurang. Hal ini berbeda
dengan saat pertama kali diberlakukan UN yang terkadang banyak mengekpose ketakutan gagal siswa dalam UN. Ditambah analisa para pengamat yang begitu pesimistis.
Hal ini memberi dampak psikologis terhadap siswa, bahwa, memang UN itu luar biasa menakutkan layaknya malaikat maut. Psikologis anak pun sudah down sebelum melaksanakan ujian atau sudah kalah sebelum berperang. Mungkin ekpose UN yang biasa-biasa itu, lantaran respons masyarakat yang khawatir juga sudah berkurang. Mengingat jumlah kelulusan tahun demi tahun relative tidak meleset dengan yang ditargetkan.
Perlu Penyempurnaan
Terlepas dari sepinya kritik juga sikap pesimistis terhadap UN, sebenarnya bukan tanpa persoalan. Mungkin di kalangan pendidik persoalan itu sangat terasa ketimbang yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan. Mereka akan kena dampaknya baik secara langsung atau tidak langsung dengan ekses hasil UN tersebut.
Secara langsung hasil UN menunjukkan kredibilitas guru atau bahkan sekolah bersangkutan. Bila siswa-siswinya gagal dalam UN, tak menutup kemungkinan, tahun depan siswa ke sekolah bersangkutan akan berkurang atau bahkan tidak ada murid yang mendaftar. Apalagi persaingan sekolah sekarang sudah sangat terbuka baik swasta maupun negeri. Siswa dan orang tua bebas memilih, apalagi di sekolah negeri (selain swasta dan Sekolah Bertaraf Internasional) secara kebijakan sudah digratiskan.
Maka tak heran jika beberapa waktu lalu tersiar ada sekolah yang menggunakan jalan pintas agar siswanya lulus semua dalam UN bahkan menjadi lulusan terbaik. Padahal dalam sehari-hari, siswa-siswanya tidak pernah terdengar meraih prestasi apa-apa. Ekses secara tidak langsung, hasil UN, menujukkan baik buruknya kualitas pendidikan di tanah air yang akan berpengaruh pula pada kualitas kehidupan secara lebih luas.
Dalam hal ini kembali kepada kebijakan pemerintah, apakah angka kelulusan diseragamkan ditinjau ulang seperti yang direkomendasikan Mahkamah Agung atau keukeuh pada kebijakan awal. Dan memang, nampaknya pemerintah bersikeras berargumen bahwa salah satu pilihan terbaik mengukur kualitas output pendidikan, dengan penyeragaman nilai UN tersebut yang kemudian dijadikan standar kelulusan siswa. Buktinya UN tahun ajaran 2009/2010 masih akan dilaksanakan.
Tiga Opsi
Ada beberapa opsi terhadap keberlangsungan UN ke depan. Pertama, UN seperti saat ini, tanpa perubahan apapun baik dari sisi materi mata pelajaran yang UN-kan maupun dari passing grade standar angka kelulusan. Namun bila UN tetap seperti sekarang ini rasanya banyak risiko baik dari siswa maupun sekolah. Misalnya siswa yang sehari-hari cerdas di sekolah, namun tak bisa meneruskan sekolah lantaran tidak lulus dalam UN. Paling untung mereka terpaksa mengikuti ujian nasional di paket A, B atau C, sesuai tingkat sekolahnya. Mungkin, kebijakan ada ujian susulan dalam UN 2010 yang akan datang ini, sebagai repons atas pertimbangan risiko-risiko itu.
Kedua, ada perubahan-perubahan di sana-sini meski angka masih ditetapkan oleh pemerintah yang berlaku secara nasional. Model ini untuk mengakomodir usulan dan saran yang berkembang bahwa dalam menilai keberhasilan pendidikan tidak semata-mata asfek kognitif, namun perlu dipertimbangkan penilaian aspek afektif dan motorik siswa.
Mengingat keberhasilan manusia tidak bisa disejajarkan dengan keberhasilannya dalam strata pendidikan. Banyak para pengusaha sukses misalnya, mereka hanya mengenyam pendidikan formal dasar atau tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali. Dari sisi kecerdasan sosial, mereka lebih berguna di masyarakat ketimbang lulusan perguruan tinggi S1 bahkan S2 namun nganggur, meski IPK-nya kumlude.
Opsi ketiga, UN ditiadakan sama sekali. Soal kelulusan diserahkan kembali kepada masing-masing sekolah. Sebab sekolah yang mengetahui detail proses belajar mengajar anak didiknya. Sehingga penilainnya akan lebih menyeluruh tanpa menonjolkan satu aspek juga meniadakan penilaian aspek lain. Tentu saja pemerintah harus membuat aturan main dengan rumusan tepat agar tujuan meningkatkan kualitas pendidikan nasional tetap terjaga dan hasilnya dapat dilihat di kemudian hari.
Penutup
Lepas dari perdebatan di atas, semua pihak sebenarnya berharap kualitas pendidikan di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Mengingat tantangan ke depan, persaingan di dunia tenaga kerja juga dunia usaha baik local maupun global sudah sangat ketat. Orang yang tidak berpendidikan atau strata pendidikannya tinggi namun tidak memiliki skill tertentu, ia dengan sendirinya terisngkir dari persaingan.
Kini tak sedikit tenaga asing yang membanjiri pasar tenaga kerja di tanah air yang dinilai lebih professional dengan skill matang. Namun sebaliknya, tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri, relativ lebih banyak bekerja di sekotor domestic yang rentan risiko. Tak jarang kita dengar pembantu rumah tangga yang disiksa majikannya atau ditelantarkan tanpa perlindungan. Sebaliknya, tenaga kerja asing di Indonesia banyak yang menjadi pengelola di level atas dan bahkan mengendalikan tenaga kerja di negerinya sendiri.
Ironis memang. Semua itu berawal dari kualitas dan tingkat pendidikan. Maka marilah UN ini –apapun bentuknya dan lepas dari persoalannya—dimaknai sebagai langkah meningkatkan derajat bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan. (anep paoji)


post by :
Ical

Sumber :
http://edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar