RUMUS SEMAKIN MEMBINGUNGKAN
Dalam buku Multiple Intelegences: Theory in Practice, karangan Howard Garden, ahli pendidikan dan psikologi Havard University, bentuk kecerdasan linguistik, logika-matematika, visual, musik, kinestik, intrapersonal, interpersonal, naturalist, dan eksistensial, semua bentuk kecerdasan ini sama pentingnya, dan telah terbukti dapat membawa kesuksesan. Sementara standarisasi UN, hanya menitik beratkan dalam bentuk liguistik dan logika matematika, siswa yang memiliki bentuk kecerdasan lain akan terpinggirkan. Karena itu, UN yang dilaksanakan selama ini tidak membantu siswa menemukan potensi diri untuk mengapai cita-cita mereka yang sesungguhnya.
Pelaksanaan UN dengan standarisasi kelulusan seperti pada pelaksanaan UN selama ini dapat memasung siswa dalam berkreasi dengan potensi diri yang ada. Hal ini mencerminkan bahwa paradiqma pembelajaran di Indonesia belum berubah. Meskipun sekarang proses pembelajaran diarahkan dengan paradiqma pembelajaran aktif (active learning) dimana proses pembelajaran berorientasi pada siswa dan guru hanya sebagai fasilitator saja. Tetapi hasil penilaian ala UN masih jauh dari paradiqma pembelajaran aktif yang cenderung hanya mengaudit angka-angka untuk beberapa mata pelajaran saja.
Sistem penilaian yang efektif dan edukatif adalah sistem yang dirancang untuk meningkatkan, bukan mengaudit hasil belajar siswa dan sebisa mungkin memberikan kesempatan siswa untuk menunjukkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan mereka dan menggunakan keterampilan tersebut dalam kehidupan nyata. Sistem penilaian yang efektif juga memberikan siswa kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan mereka dengan cara-cara yang dianggap nyaman, yakni cara yang sesuai dengan gaya belajar yang mereka sukai, disamping itu diberikan juga penilaian yang mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan serta menumbuhkan kepercayaan diri.
Standarisasi nilai dalam pelaksanaan UN selama ini menyebabkan siswa tidak nyaman dan secara psikologis banyak diantara siswa-siswi Indonesia yang tertekan jiwanya seperti stress, atau bahkan sering berubah menjadi depresi. Tekanan baik fisik maupun mental ini bukan hanya dialami siswa-siswi yang berkemampuan di bawah rata-rata. Tetapi didapati secara merata, bahkan pada siswa yang rangking teratas di sekolahnya sekalipun. Terdapat sejumlah kasus di mana siswa juara kelas, peraih medali olympiade, dan bahkan penerima beasiswa universitas-universitas terkenalpun pernah gagal dalam UN.
Penerapan standarisasi dalam pelaksanaan UN diasumsikan sebagai alat objektif untuk mengukur dan memetakan kualitas pendidikan nasional, serta menyaring siswa untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Akibatnya, sistem pembelajaran di sekolah, diarahkan untuk mengejar nilai standar yang telah ditetapkan pemerintah dengan target lulusan sebanyak-banyak mungkin. Sehingga potensi diri lain siswa menjadi terabaikan.
KAPAN SEMPAT LATIHAN LAGI
KAPAN SEMPAT LATIHAN LAGI
Sebagai contoh, siswa dengan bakat luar biasa di bidang-bidang seperti musik, seni dan olahraga sering diarahkan di sekolah bahkan orang tua untuk tidak mendalami bakat mereka itu secara mendalam. Bidang seperti itu dianggap tidak memiliki masa depan yang cerah. Anggapan seperti itu merupakan suatu stikmatisasi yang sangat keliru. Padahal kenyataan membuktikan bahwa potensi siswa baik dalam bidang seni, olahraga dan potensi-potensi lain yang berkaitan dengan kreatifitas siswa telah mampu menghasilkan masa depan yang cerah. Bahkan pada even-even internasional bidang seperti seni, musik dan olahraga itu sering membawa harum nama daerah bangsa dan negara. Stikmatisasi semacam ini, membuat siswa terjebak dalam alur skema yang dirancang sekolah, bukannya menggali apa yang benar-benar mereka inginkan.
Padahal ouput yang diharapkan dari suatu institusi pendidikan adalah menciptakan manusia-manusia yang mandiri dengan penuh kreatifitas dan percaya diri yang tinggi. Mereka diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan menggali potensi yang ada pada dirinya, sehingga tidak hanya tergantung dan berlomba-lomba menjadi pegawai negeri seperti kenyataan selama ini. Merubah anggapan ini hanya dapat dilakukan melalui sekolah-sekolah dan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar yang ia tempuh selama ini. Bila sekolah atau sistem pendidikan membiasakan siswa-siswinya untuk bebas berkreatifitas maka ouput yang dihasilkan juga ouput yang penuh dengan dedikasi, mandiri dan memiliki kepercayaan yang tinggi.
Tetapi alangkah disayangkan, pelaksanaan UN telah membuat siswa selalu di sibukkan mengejar pengetahuan koqnitif, yang pada hakekatnya hanyalah hafalan-hafalan semata. Kalau pagi mereka belajar secara formal di sekolah-sekolah, maka pada sorenya mereka mencari tempat bimbingan belajar atau tempat-tempat privat yang dianggap dapat menolong mereka dari jeratan standarisasi UN. Terkesan, seolah-olah, semakin hari tampaknya waktu belajar siswa-siswi Indonesia banyak dihabiskan untuk mempersiapkan diri menghadapi UN yang hanya enam mata pelajaran saja, yang lain tidak harus dipikirkan lagi.
Apa arti semuanya ini? Bukankah kebijakan yang terkesan dipaksakan ini telah membunuh potensi-potensi yang dimiliki siswa? Padahal masa depan generasi muda Indonesia bukan hanya tergantung pada enam mata pelajaran yang diujiannasionalkan saja. Masih banyak potensi-potensi lain yang harus digali dan dikembangkan.
Setiap anak punya cita-cita dan angan-angan tersendiri untuk mengapai masa depannya yang lebih baik. Mereka harus diberikan kesempatan dan kepercayaan untuk menentukan masa depan sendiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Di sini, posisi pemerintah, orang tua dan sekolah hanya bertugas memfasilitasi dan mengarahkan saja apa yang menjadi keinginan mereka. Tidak perlu mengkebiri mereka yang kadang terkesan hanya untuk mempertahankan gengsi sebuah institusi baik sekolah atau institusi lain yang terkait. Lantas kemudian UN hanya sekedar ajang promosi institusi-institusi tersebut. Bukan untuk menghasilkan lulusan yang dapat bersaing dan tahan banting dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin pesat.
Betapa banyak korban-korban berjatuhan di kalangan anak-anak muda penerus cita-cita bangsa selama ini. Dalam ilmu psikologis, ada satu karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan yaitu kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhinya. Salah satu faktor penyebabnya adalah salah urus, salah asuh dan salah asih, karena orang-orang tua terlalu ego pada pendirian dan keinginannya dan tidak mau peduli untuk memahami keinginan mereka itu. Korban yang kita maksudkan disini bukanlah semata mereka tidak lulus, karena pada kenyataannya kelulusan itu terkadang dapat disimsalabimkan, yang kita maksudkan adalah potensi-potensi mereka yang terbunuh.
Tetapi walaupun mereka lulus, rasa rendah diri menghinggapi bila hasil kelulusan mereka pas-pasan. Mereka dianggap tidak cerdas, dan masa depan tidak menjanjikan. Lapangan kerja pun sulit ditembus karena sekolah tidak sempat membekali mereka dengan keterampilan yang betul-betul dibutuhkan di dunia kerja. Kalaupun mereka melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, rasa minder pasti akan menghinggapi meraka. Menumbuhkan rasa kepercayaan ini membutuhkan waktu yang lama untuk mau menggali kembali potensi diri yang sesungguhnya.
Bila potensi diri generasi muda yang sesungguhnya tidak pernah digali karena fokus mereka hanya mengejar nilai minimal ujian nasional, bagaimana lulusan sekolah di Indonesia dapat mandiri. Bagaimana mengurangi atau bahkan menghilangkan tingkat pengangguran yang semakin hari semakin besar. Apalagi untuk menyaingi negera-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang. Dari itu, format baru UN 2011 yang akan digali pemerintah dan DPR-RI tidak lagi mengorbankan anak didik dan guru. Dan yang terpenting, multidimensional masalah dalam dunia pendidikan saat ini janganlah dibebankan kepada jiwa-jiwa yang masih muda yang belum begitu paham tentang apa yang terjadi sebenarnya. Hanya atas nama meningkatkan mutu pendidikan, banyak siswa yang dikorbankan.
sumber :
http://kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar